Pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental yang dapat menentukan baik buruknya suatu peradaban. Suatu bangsa bisa maju dan berkembang ketika pendidikan di dalamnya dibangun dan dikelola dengan baik. Sebagai contoh, negara Jepang mampu berkembang pesat setelah mereka mengalami pengeboman di kota Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu berkat pendidikan yang dibangunnya. Pada saat itu, Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu tapi mereka memiliki keinginan kuat untuk segera bangkit. Maka setelah kejadian itu, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral yang tersisa dan menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Artinya, Kaisar Hirohito meyakini bahwa pendidikan harus diprioritaskan dalam membangun suatu peradaban karena terciptanya kebangkitan dari keterpurukan sehingga bisa maju dan berkembang kuncinya adalah dengan menciptakan pendidikan yang baik.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang didesain
dengan baik dan benar sehingga menjadi sebuah sistem pendidikan yang utuh. Indikasi
sebuah sistem pendidikan tergolong baik, di antaranya bisa dilihat dari proses Pendidikan
itu sendiri. Proses pendidikan yang baik secara lebih spesifik bisa dilihat
dari pendidikan yang dilangsungkan oleh pembelajar dengan pebelajar. Menurut Hery
(2008), proses pendidikan yang berlangsung dengan baik akan mampu menanamkan
nilai yang baik pada individu pebelajar. Oleh karena itu, untuk menghasilkan
proses pendidikan yang baik, bisa dianalisis dari kesiapan komponen-komponen
pendidikan, terutama kesiapan dari pembelajar dan pebelajar yang ditunjang oleh
sarana pendidikan yang bisa mendukung keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Kesiapan pembelajar bisa dianalisis dari kompetensi yang
dimiliki, baik berupa kompetensi dalam metode pembelajaran maupun penguasaan materi
yang akan diajarkan. Sedangkan kesiapan pebelajar dalam proses belajar bisa
dilihat dari kesiapan fisik, psikis dan kognitif dalam menerima pembelajaran. Adapun
kesiapan sarana pendidikan adalah ketersediaan dan kesesuaian sarana pendidikan
yang bisa mempermudah proses pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat urgen bagi
perkembangan diri seseorang terutama terhadap perkembangan kepribadiannya. Dia akan
menjadi pribadi yang berkulitas ketika memiliki pendidikan yang baik. Urgensi
pendidikan yang baik bisa dianalisis dari definisi pendidikan. Tafsir (2008)
telah mendefinisikan pendidikan sebagai pengembangan pribadi dalam semua
aspeknya, dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi terdiri dari pendidikan
oleh sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain.
Seluruh aspek pendidikan itu meliputi jasmani, akal, dan hati. Ketiga aspek tersebut
yang akan membuat pribadi seseorang lebih berkembang ketika bisa digunakan
secara optimal. Adapun proses pendidikan yang relevan dengan Sisdiknas adalah
pengendalian diri (Pasal 1), kreatif, demokratis (Pasal 3), kemauan (Pasal 4),
dinamis, dan dialogis (Pasal 40). Dengan demikian, proses pendidikan ini bisa
mempermudah untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena itu, pada prinsipnya tujuan
pendidikan itu adalah mengarahkan pebelajar agar bisa menjalankan tugas selaku ‘abdullah
yaitu beribadah kepada-Nya, dan bisa menjalankan perannya sebagai khalifatullah
yaitu memakmurkan alam semesta. Secara spesifik, Tafsir (2008) memerinci
tujuan pendidikan adalah agar jasmani sehat, akal cerdas dan pandai, dan hati
takwa kepada Allah.
Merujuk kepada argumentasi di atas, maka seluruh
potensi yang dimiliki manusia harus digunakan untuk menjalankan tugas dan
perannya di muka bumi. Hubungan antara potensi manusia, amanah manusia, dan proses
pendidikan adalah kemampuan mengoptimalkan potensi yang dimiliki manusia agar
amanah tersebut bisa dilaksanakan dengan baik yang ditempuh melalui jalur pendidikan.
Secara garis besar, proses pendidikan itu bisa berlangsung di rumah, sekolah,
dan masyarakat. Ketiga tempat tersebut memiliki keterkaitan yang kuat karena keberhasilan
atau ketidakberhasilan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tiga lingkungan
tersebut.
Sebab itu, terdapat tiga faktor pembentuk kepribadian
seseorang dalam proses pendidikan, yaitu pengaruh geografi, kebudayaan, dan
agama (Ulum: 2016). Pengaruh proses pendidikan
seseorang dengan tempat tinggalnya atau letak geografi akan memiliki
kepribadian berbeda dengan orang lain yang berbeda tempat tinggalnya;
sebagaimana pengaruh proses pendidikan seseorang dengan suatu kebudayaan
tertentu akan memiliki kepribadian berbeda dengan orang lain yang memiliki
kebudayaan berbeda; atau pengaruh proses belajar seseorang dengan agama yang
dianutnya akan memiliki kepribadian yang berbeda dengan orang lain yang
menganut agama berbeda.
Namun, yang paling mempengaruhi seseorang dalam proses
pendidikan adalah faktor agama. Lebih dari itu, agama Islam sebagai agama yang
mengemban misi “mengeluarkan” orang-orang dari berbagai macam kezhaliman kepada
satu cahaya yang terang benderang, yang memiliki peran sebagai hudal
lilmuttaqin, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah [2]: 2); hudal
lil mukminin, petunjuk bagi orang-orang yang beriman (al-Naml [27]: 2); hudal
lil muhsinin, petunjuk bagi orang-orang yang berbuat kebajikan (Luqmān
[31]: 3); hudan li ulil albab, petunjuk bagi orang-orang yang berakal (Ghafir
[40]: 54); hudal linnas, petunjuk bagi segenap manusia (al-Baqarah [2]: 185);
dan rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam (al-Anbiyā [21]: 107).
Secara garis besar, proses pendidikan yang dicontohkan
oleh Rasulullah SAW adalah proses pendidikan yang baik dan santun (Ali ‘Imrān
[3]: 159); ikhlas, “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah
mencintai dan membenci seseorang karena Allah” (HR Ahmad); berkata benar, “Jihad
apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, Kalimat yang benar yang
sampaikan kepada pemimpin zhalim” (HR Ahmad); disiplin, berbuat baik kepada
orangtua, dan bersungguh-sungguh, “Amal perbuatan apa yang paling dicintai
Allah? Rasul bersabda, Shalat tepat pada waktunya, berbuat baik
kepada kedua orangtua, dan jihad (bersungguh-sungguh) di jalan
Allah” (HR Bukhari); dan amal perbuatan yang kontinue,”Pekerjaan apa
yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, Amal yang terus menerus walaupun
hanya sedikit” (HR Bukhari).
Berpijak kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Nabi SAW
di atas yang dihubungkan dengan teori pendidikan yang ada saat ini, ditemukan
bahwa teori pendidikan saat ini, lebih banyak merupakan hasil penelitian baik library
research maupun riset empiris dengan tanpa sepenuhnya merujuk kepada
al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam, sehingga peranan
al-Qur’an dan hadits Nabi belum maksimal mewarnai teori pendidikan.
Teori pendidikan yang pertama kali harus
dimiliki oleh seorang pendidik adalah hakikat manusia. Karena manusia, adalah
subjek pendidikan yang tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Bila teori
tentang manusia belum terumuskan dengan benar, akan berdampak kepada arah
pendidikan menjadi kabur dan tidak akan menghasilkan lulusan pendidikan yang
baik dan benar. Sebab itu, teori tentang manusia harus sesuai dengan teori
manusia menurut Pencipta manusia, bukan teori tentang manusia menurut manusia.
Di dalam ayat al-Qur’an dijelaskan, bahwa
manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasad (‘Abasa [80]:
24, al-Baqarah [2]: 168, 172, al-Naba [78]: 9, dan al-Rum [30]: 20-21). Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jasad berarti tubuh atau badan, yaitu
sesuatu yang berwujud, dapat diraba, dapat dilihat dan sebagainya (Depdikbud, 1998). Manusia
pertama yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam. Jasad Adam diciptakan dari
tanah (al-Hijr [15]: 26, Ali Imrān [3]: 59, Shād [38] 71). Setelah Allah
menciptakan Adam dari tanah, Allah menciptakan Hawa dari Adam (al-‘Arāf [7]:
189). Dari Adam dan Hawa ini, Allah menciptakan manusia lain, berasal dari nuthfah
atau air mani (al-Mursalāt [77]: 20–22). Dari nuthfah Allah menjadikan ‘alaqah
atau segumpal darah beku (Al-Mukminūn [23]: 12–14).
Berikutnya Allah menciptakan ruh (al-Sajdah
[32]: 9) dan sering diartikan jiwa. Kata yang berdekatan dengan
jiwa adalah qalb (al-Hujurāt [49]: 14), fuad, (al-Isrā [17]:36), shadr
(al-An’ām [6]: 125), nafs (al-Syams [91]: 7), dan aql (Yusuf
[12]: 2). Kelima istilah ini, dalam satu segi memiliki makna yang sama dan
dalam segi lain memiliki makna yang berbeda. Qalb, fuad, shadr,
dan nafs menurut para ahli tasawuf bisa berpikir menggunakan bashirah
atau hati. Sementara aql berpikir menggunakan bashar atau
indera. shadr dan fu’ad.
Aql atau akal adalah daya
pikir untuk mengerti atau pikiran atau ingatan (Depdikbud, 1998). Di dalam
Kamus al-Ta’rifat, al-Jurjāni (1405), memberikan pengertian akal adalah jiwa
yang bisa berbicara, ruh yang berhubungan dengan badan, cahaya di dalam hati
yang bisa memdedakan sesuatu yang benar dan salah, sesuatu yang berhubungan
dengan badan yang bisa digunakan untuk menelaah. Akal ini tempatnya ada di dalam
kepala dan hati.
Di dalam ayat al-Qur’an, yang menjelaskan aql,
makna akal tidak sesederhana seperti definisi akal di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia tersebut di atas. Ternyata, alat untuk berpikir ini berhubungan dengan
sesuatu yang ada di dalam kepala (Yusuf [12]: 2) seperti memikirkan langit dan
bumi, dan sesuatu yang berhubungan dengan hati (al-Hajj [22]: 46) seperti keimanan.
Ketiga unsur
itulah yang harus dioptimalkan oleh setiap subjek pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Dalam hal ini, subjek pendidikan dituntut untuk bisa tepat sasaran
dalam menempuh pendidikannya. Ada beberapa indikator yang membuktikan bahwa
seseorang itu tepat dalam menempuh pendidikan. Pertama, subjek Pendidikan bisa menjadi
lebih baik dalam din dan akhlaknya. Hal
itu bisa dibuktikan dengan terciptanya aqidah yang kuat, ibadah yang sehat dan
akhlaq yang terbina setelah dia menempuh pendidikannya. Kedua, bisa menjadi seseorang
yang berpengatahuan dan dapat dijadikan rujukan oleh orang lain, serta menjadi
panutan dalam ilmu yang ia pelajari. Ketiga, bisa bermanfaat baik untuk dirinya
maupun untuk orang lain. Keempat, bisa memperbaiki keberadaan dirinya yang dilihat
dari kemampuan dia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga kesehatan
dirinya, menjaga waktunya dan mengatur segala urusannya. Ketika indikator-indikator
tersebut tidak nampak pada diri seseorang setelah dia selesai menempuh pendidikan berarti dia tidak tepat
sasaran dalam mengenyam dunia pendidikannya.
Subjek
Pendidikan
Kata pendidikan adalah terjemah dari kata tarbiyah.
Kata ini berasal dari kata dasar rabba yurabbi. Kata tarbiyah ini
maknanya berdekatan dengan kata rabb (al-Fātihah [1]: 2). Karena itu,
Allah SWT adalah guru pertama (mu’allim) bagi manusia (al-Baqarah [2]:
31), yang mengajarkan nama-nama seperti keturunan, binatang, dan sebagainya.
Namun, bilamana ditelaah secara mendalam, segala sesuatu yang berhubungan dengan
pendidikan selalu dihubungkan dengan hakikat manusia.
Sebab itu, untuk mengetahui kewajiban
pendidik terhadap anak didik menurut pendidikan Islam, hal yang paling prinsip
dan mendasar adalah mengetahui tujuan penciptaan manusia. Allah telah menciptakan
manusia agar mentaati-Nya dan tidak maksiat kepada-Nya, yakni menjadi ‘abdullah
(hamba Allah) dengan tugas utamanya adalah beribadah (al-Dzāriyāt [51]: 56).
Kemudian, karena Allah memberi kelebihan kepada manusia yang itu dengan
diberikan jiwa, maka berperan sebagai khalifah (wakil
Allah), yaitu untuk memakmurkan alam semesta (Hud [11]: 61, al-Jātsiyah [45]:
13, al-Isrā [17: 70).
Berdasarkan ayat al-Qur’an tentang tugas
manusia sebagai ‘abdullah seperti di atas, menunjukan bahwa Allah
sajalah yang berhak diibadahi (al-‘Arāf [7]: 172). Karena itu, maka kewajiban
seorang pendidik terhadap anak didiknya adalah menanamkan nilai-nilai keimanan.
Penanaman keimanan di dalam pendidikan Islam harus dimulai dari sejak manusia berada
di dalam kandungan perut seorang Ibu (al-Rūm [30]: 30). Penanaman keiman pada
ayat ini, adalah menjelaskan bahwa sejak manusia memiliki kehidupan harus
diberikan pendidikan, bahwa manusia sejak itu sudah ada hubungan dengan Allah. Keimanan
pada ayat ini sifatnya pasif, karena keimananan diarahkan untuk mempertahankan
fitrah manusia, dan mengakui Allah dengan ikhlas (Yūnus [10]: 22).
Adapun setelah manusia dewasa, keimanan yang sifatnya
pasif diarahkan menjadi aktif. Di antara perintah untuk menanamkan keimanan
yang sifatnya aktif, adalah memikirkan ciptaan Allah seperti memikirkan pergantian
malam dan siang, dan memikirkan ciptaan langit dan bumi (Yunus [10]: 6, al-Mukminum
[23]: 80, Ali Imran [3]: 190-191, al-Mulk [67]: 3). Memimikiran ciptaan Allah
ini adalah merenungkan dan menelaah dengan indera, yang bisa mengarahkan
manusia menjadi beriman dan bertakwa kepada Allah.
Sumber
Pendidikan
Pada bahasan ini akan dikemukakan pendapat para
mufassir sebagai ulama pendidikan yang berhubungan dengan ayat-ayat yang telah
disebutkan di atas. Bahasan pertama adalah fungsi al-Qur’an sebagai sumber
pendidikan. Fungsi al-Qur’an yang pertama adalah petunjuk (hudan)
bagi orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah [2]: 2). Menurut al-Bagwi
(1997), sebelum ayat ini diturunkan, orang-orang musyrikin telah mendustakan
surat-surat lain sebelum al-Baqarah, karena itu Allah menegaskan bahwa
firman-Nya sedikitpun tidak ada keraguan. Orang-orang yang tidak ragu kepada
al-Qur’an adalah orang-orang yang bertakwa. Ayat ini di samping berarti berita,
berarti juga larangan. Karena, ayat ini secara tersirat melarang orang-orang
yang bertakwa untuk meragukan al-Qur’an.
Menurut al-Thabari (2000), ayat ini menunjukan
dialog antara Muhammad dengan Allah. Karena itu, walaupun ayat ini menggunakan
kata tunjuk “dzalika” tidak berarti itu, melainkan berarti “hadza”
atau ini. Karena, pada saat berdialog, yang berdialog berada dalam keadaan
berhadap-hadapan tidak berada dalam keadaan tidak ada (gaib). Ayat ini adalah
berita dialog antara Allah dengan Muhammad SAW, bahwa al-Qur’an berfungsi
sebagai hudan berarti rasyād atau perunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa.
Dengan demikian, al-Qur’an sebagai sumber pendidikan
harus disampaikan dengan metode dialog, sehingga orang-orang yang tadinya
meragukan kebenaran al-Qur’an bisa berubah menjadi yakin bahwa al-Qur’an itu
sedikitpun tidak ada keraguan. Di sinilah pentingnya dialog sebagai sarana
internalisasi pesan-pesan al-Qur’an. Karena itu, menurut al-Thabari (2000), hudan
berarti sifat dari al-Qur’an yang mengedepankan dialog, sehingga bisa
menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman, yaitu seperti yang tertera di
dalam al-Naml [27]: 2. Petunjuk di sini berarti jalan yang lurus yang harus
ditempuh dan perintah untuk meninggalkan selain jalan ini (al-Sa’di: 2000).
* Mahasantri Pesma Al-Qalam, Mahasiswa Prodi Pendidikan
Bahasa Inggris FKIP Unsil Tasikmalaya