M. Rifqi Romdon Anwari*

Pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental yang dapat menentukan baik buruknya suatu peradaban. Suatu bangsa bisa maju dan berkembang ketika pendidikan di dalamnya dibangun dan dikelola dengan baik. Sebagai contoh, negara Jepang mampu berkembang pesat setelah mereka mengalami pengeboman di kota Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu berkat pendidikan yang dibangunnya. Pada saat itu, Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu tapi mereka memiliki keinginan kuat untuk segera bangkit. Maka setelah kejadian itu, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral yang tersisa dan menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Artinya, Kaisar Hirohito meyakini bahwa pendidikan harus diprioritaskan dalam membangun suatu peradaban karena terciptanya kebangkitan dari keterpurukan sehingga bisa maju dan berkembang kuncinya adalah dengan menciptakan pendidikan yang baik.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang didesain dengan baik dan benar sehingga menjadi sebuah sistem pendidikan yang utuh. Indikasi sebuah sistem pendidikan tergolong baik, di antaranya bisa dilihat dari proses Pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan yang baik secara lebih spesifik bisa dilihat dari pendidikan yang dilangsungkan oleh pembelajar dengan pebelajar. Menurut Hery (2008), proses pendidikan yang berlangsung dengan baik akan mampu menanamkan nilai yang baik pada individu pebelajar. Oleh karena itu, untuk menghasilkan proses pendidikan yang baik, bisa dianalisis dari kesiapan komponen-komponen pendidikan, terutama kesiapan dari pembelajar dan pebelajar yang ditunjang oleh sarana pendidikan yang bisa mendukung keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kesiapan pembelajar bisa dianalisis dari kompetensi yang dimiliki, baik berupa kompetensi dalam metode pembelajaran maupun penguasaan materi yang akan diajarkan. Sedangkan kesiapan pebelajar dalam proses belajar bisa dilihat dari kesiapan fisik, psikis dan kognitif dalam menerima pembelajaran. Adapun kesiapan sarana pendidikan adalah ketersediaan dan kesesuaian sarana pendidikan yang bisa mempermudah proses pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat urgen bagi perkembangan diri seseorang terutama terhadap perkembangan kepribadiannya. Dia akan menjadi pribadi yang berkulitas ketika memiliki pendidikan yang baik. Urgensi pendidikan yang baik bisa dianalisis dari definisi pendidikan. Tafsir (2008) telah mendefinisikan pendidikan sebagai pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi terdiri dari pendidikan oleh sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain. Seluruh aspek pendidikan itu meliputi jasmani, akal, dan hati. Ketiga aspek tersebut yang akan membuat pribadi seseorang lebih berkembang ketika bisa digunakan secara optimal. Adapun proses pendidikan yang relevan dengan Sisdiknas adalah pengendalian diri (Pasal 1), kreatif, demokratis (Pasal 3), kemauan (Pasal 4), dinamis, dan dialogis (Pasal 40). Dengan demikian, proses pendidikan ini bisa mempermudah untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena itu, pada prinsipnya tujuan pendidikan itu adalah mengarahkan pebelajar agar bisa menjalankan tugas selaku ‘abdullah yaitu beribadah kepada-Nya, dan bisa menjalankan perannya sebagai khalifatullah yaitu memakmurkan alam semesta. Secara spesifik, Tafsir (2008) memerinci tujuan pendidikan adalah agar jasmani sehat, akal cerdas dan pandai, dan hati takwa kepada Allah.
Merujuk kepada argumentasi di atas, maka seluruh potensi yang dimiliki manusia harus digunakan untuk menjalankan tugas dan perannya di muka bumi. Hubungan antara potensi manusia, amanah manusia, dan proses pendidikan adalah kemampuan mengoptimalkan potensi yang dimiliki manusia agar amanah tersebut bisa dilaksanakan dengan baik yang ditempuh melalui jalur pendidikan. Secara garis besar, proses pendidikan itu bisa berlangsung di rumah, sekolah, dan masyarakat. Ketiga tempat tersebut memiliki keterkaitan yang kuat karena keberhasilan atau ketidakberhasilan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tiga lingkungan tersebut.
Sebab itu, terdapat tiga faktor pembentuk kepribadian seseorang dalam proses pendidikan, yaitu pengaruh geografi, kebudayaan, dan agama (Ulum:  2016). Pengaruh proses pendidikan seseorang dengan tempat tinggalnya atau letak geografi akan memiliki kepribadian berbeda dengan orang lain yang berbeda tempat tinggalnya; sebagaimana pengaruh proses pendidikan seseorang dengan suatu kebudayaan tertentu akan memiliki kepribadian berbeda dengan orang lain yang memiliki kebudayaan berbeda; atau pengaruh proses belajar seseorang dengan agama yang dianutnya akan memiliki kepribadian yang berbeda dengan orang lain yang menganut agama berbeda.
Namun, yang paling mempengaruhi seseorang dalam proses pendidikan adalah faktor agama. Lebih dari itu, agama Islam sebagai agama yang mengemban misi “mengeluarkan” orang-orang dari berbagai macam kezhaliman kepada satu cahaya yang terang benderang, yang memiliki peran sebagai hudal lilmuttaqin, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah [2]: 2); hudal lil mukminin, petunjuk bagi orang-orang yang beriman (al-Naml [27]: 2); hudal lil muhsinin, petunjuk bagi orang-orang yang berbuat kebajikan (Luqmān [31]: 3); hudan li ulil albab, petunjuk bagi orang-orang yang berakal (Ghafir [40]: 54); hudal linnas, petunjuk bagi segenap manusia (al-Baqarah [2]: 185); dan rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam (al-Anbiyā [21]: 107).
Secara garis besar, proses pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah proses pendidikan yang baik dan santun (Ali ‘Imrān [3]: 159); ikhlas, “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah mencintai dan membenci seseorang karena Allah” (HR Ahmad); berkata benar, “Jihad apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, Kalimat yang benar yang sampaikan kepada pemimpin zhalim” (HR Ahmad); disiplin, berbuat baik kepada orangtua, dan bersungguh-sungguh, “Amal perbuatan apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, Shalat tepat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orangtua, dan jihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah” (HR Bukhari); dan amal perbuatan yang kontinue,”Pekerjaan apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, Amal yang terus menerus walaupun hanya sedikit” (HR Bukhari).
Berpijak kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Nabi SAW di atas yang dihubungkan dengan teori pendidikan yang ada saat ini, ditemukan bahwa teori pendidikan saat ini, lebih banyak merupakan hasil penelitian baik library research maupun riset empiris dengan tanpa sepenuhnya merujuk kepada al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam, sehingga peranan al-Qur’an dan hadits Nabi belum maksimal mewarnai teori pendidikan.
Teori pendidikan yang pertama kali harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah hakikat manusia. Karena manusia, adalah subjek pendidikan yang tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Bila teori tentang manusia belum terumuskan dengan benar, akan berdampak kepada arah pendidikan menjadi kabur dan tidak akan menghasilkan lulusan pendidikan yang baik dan benar. Sebab itu, teori tentang manusia harus sesuai dengan teori manusia menurut Pencipta manusia, bukan teori tentang manusia menurut manusia.
Di dalam ayat al-Qur’an dijelaskan, bahwa manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasad (‘Abasa [80]: 24, al-Baqarah [2]: 168, 172, al-Naba [78]: 9, dan al-Rum [30]: 20-21). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jasad berarti tubuh atau badan, yaitu sesuatu yang berwujud, dapat diraba, dapat dilihat  dan sebagainya (Depdikbud, 1998). Manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam. Jasad Adam diciptakan dari tanah (al-Hijr [15]: 26, Ali Imrān [3]: 59, Shād [38] 71). Setelah Allah menciptakan Adam dari tanah, Allah menciptakan Hawa dari Adam (al-‘Arāf [7]: 189). Dari Adam dan Hawa ini, Allah menciptakan manusia lain, berasal dari nuthfah atau air mani (al-Mursalāt [77]: 20–22). Dari nuthfah Allah menjadikan ‘alaqah atau segumpal darah beku (Al-Mukminūn [23]: 12–14).
Berikutnya Allah menciptakan ruh (al-Sajdah [32]: 9) dan sering diartikan jiwa. Kata yang berdekatan dengan jiwa adalah qalb (al-Hujurāt [49]: 14), fuad, (al-Isrā [17]:36), shadr (al-An’ām [6]: 125), nafs (al-Syams [91]: 7), dan aql (Yusuf [12]: 2). Kelima istilah ini, dalam satu segi memiliki makna yang sama dan dalam segi lain memiliki makna yang berbeda. Qalb, fuad, shadr, dan nafs menurut para ahli tasawuf bisa berpikir menggunakan bashirah atau hati. Sementara aql berpikir menggunakan bashar atau indera. shadr  dan fu’ad.
Aql atau akal adalah daya pikir untuk mengerti atau pikiran atau ingatan (Depdikbud, 1998). Di dalam Kamus al-Ta’rifat, al-Jurjāni (1405), memberikan pengertian akal adalah jiwa yang bisa berbicara, ruh yang berhubungan dengan badan, cahaya di dalam hati yang bisa memdedakan sesuatu yang benar dan salah, sesuatu yang berhubungan dengan badan yang bisa digunakan untuk menelaah. Akal ini tempatnya ada di dalam kepala dan hati. 
Di dalam ayat al-Qur’an, yang menjelaskan aql, makna akal tidak sesederhana seperti definisi akal di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut di atas. Ternyata, alat untuk berpikir ini berhubungan dengan sesuatu yang ada di dalam kepala (Yusuf [12]: 2) seperti memikirkan langit dan bumi, dan sesuatu yang berhubungan dengan hati (al-Hajj [22]: 46) seperti keimanan.
Ketiga unsur itulah yang harus dioptimalkan oleh setiap subjek pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal ini, subjek pendidikan dituntut untuk bisa tepat sasaran dalam menempuh pendidikannya. Ada beberapa indikator yang membuktikan bahwa seseorang itu tepat dalam menempuh pendidikan. Pertama, subjek Pendidikan bisa menjadi lebih baik dalam din dan akhlaknya. Hal itu bisa dibuktikan dengan terciptanya aqidah yang kuat, ibadah yang sehat dan akhlaq yang terbina setelah dia menempuh pendidikannya. Kedua, bisa menjadi seseorang yang berpengatahuan dan dapat dijadikan rujukan oleh orang lain, serta menjadi panutan dalam ilmu yang ia pelajari. Ketiga, bisa bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Keempat, bisa memperbaiki keberadaan dirinya yang dilihat dari kemampuan dia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga kesehatan dirinya, menjaga waktunya dan mengatur segala urusannya. Ketika indikator-indikator tersebut tidak nampak pada diri seseorang setelah dia selesai  menempuh pendidikan berarti dia tidak tepat sasaran dalam mengenyam dunia pendidikannya.

Subjek Pendidikan
Kata pendidikan adalah terjemah dari kata tarbiyah. Kata ini berasal dari kata dasar rabba yurabbi. Kata tarbiyah ini maknanya berdekatan dengan kata rabb (al-Fātihah [1]: 2). Karena itu, Allah SWT adalah guru pertama (mu’allim) bagi manusia (al-Baqarah [2]: 31), yang mengajarkan nama-nama seperti keturunan, binatang, dan sebagainya. Namun, bilamana ditelaah secara mendalam, segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan selalu dihubungkan dengan hakikat manusia.
Sebab itu, untuk mengetahui kewajiban pendidik terhadap anak didik menurut pendidikan Islam, hal yang paling prinsip dan mendasar adalah mengetahui tujuan penciptaan manusia. Allah telah menciptakan manusia agar mentaati-Nya dan tidak maksiat kepada-Nya, yakni menjadi abdullah (hamba Allah) dengan tugas utamanya adalah beribadah (al-Dzāriyāt [51]: 56). Kemudian, karena Allah memberi kelebihan kepada manusia yang itu dengan diberikan jiwa, maka berperan sebagai khalifah (wakil Allah), yaitu untuk memakmurkan alam semesta (Hud [11]: 61, al-Jātsiyah [45]: 13, al-Isrā [17: 70).
Berdasarkan ayat al-Qur’an tentang tugas manusia sebagai ‘abdullah seperti di atas, menunjukan bahwa Allah sajalah yang berhak diibadahi (al-‘Arāf [7]: 172). Karena itu, maka kewajiban seorang pendidik terhadap anak didiknya adalah menanamkan nilai-nilai keimanan. Penanaman keimanan di dalam pendidikan Islam harus dimulai dari sejak manusia berada di dalam kandungan perut seorang Ibu (al-Rūm [30]: 30). Penanaman keiman pada ayat ini, adalah menjelaskan bahwa sejak manusia memiliki kehidupan harus diberikan pendidikan, bahwa manusia sejak itu sudah ada hubungan dengan Allah. Keimanan pada ayat ini sifatnya pasif, karena keimananan diarahkan untuk mempertahankan fitrah manusia, dan mengakui Allah dengan ikhlas  (Yūnus [10]: 22).
Adapun setelah manusia dewasa, keimanan yang sifatnya pasif diarahkan menjadi aktif. Di antara perintah untuk menanamkan keimanan yang sifatnya aktif, adalah memikirkan ciptaan Allah seperti memikirkan pergantian malam dan siang, dan memikirkan ciptaan langit dan bumi (Yunus [10]: 6, al-Mukminum [23]: 80, Ali Imran [3]: 190-191, al-Mulk [67]: 3). Memimikiran ciptaan Allah ini adalah merenungkan dan menelaah dengan indera, yang bisa mengarahkan manusia menjadi beriman dan bertakwa kepada Allah.

Sumber Pendidikan
Pada bahasan ini akan dikemukakan pendapat para mufassir sebagai ulama pendidikan yang berhubungan dengan ayat-ayat yang telah disebutkan di atas. Bahasan pertama adalah fungsi al-Qur’an sebagai sumber pendidikan. Fungsi al-Qur’an yang pertama adalah petunjuk (hudan) bagi orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah [2]: 2). Menurut al-Bagwi (1997), sebelum ayat ini diturunkan, orang-orang musyrikin telah mendustakan surat-surat lain sebelum al-Baqarah, karena itu Allah menegaskan bahwa firman-Nya sedikitpun tidak ada keraguan. Orang-orang yang tidak ragu kepada al-Qur’an adalah orang-orang yang bertakwa. Ayat ini di samping berarti berita, berarti juga larangan. Karena, ayat ini secara tersirat melarang orang-orang yang bertakwa untuk meragukan al-Qur’an.
Menurut al-Thabari (2000), ayat ini menunjukan dialog antara Muhammad dengan Allah. Karena itu, walaupun ayat ini menggunakan kata tunjuk “dzalika” tidak berarti itu, melainkan berarti “hadza” atau ini. Karena, pada saat berdialog, yang berdialog berada dalam keadaan berhadap-hadapan tidak berada dalam keadaan tidak ada (gaib). Ayat ini adalah berita dialog antara Allah dengan Muhammad SAW, bahwa al-Qur’an berfungsi sebagai hudan berarti rasyād atau perunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Dengan demikian, al-Qur’an sebagai sumber pendidikan harus disampaikan dengan metode dialog, sehingga orang-orang yang tadinya meragukan kebenaran al-Qur’an bisa berubah menjadi yakin bahwa al-Qur’an itu sedikitpun tidak ada keraguan. Di sinilah pentingnya dialog sebagai sarana internalisasi pesan-pesan al-Qur’an. Karena itu, menurut al-Thabari (2000), hudan berarti sifat dari al-Qur’an yang mengedepankan dialog, sehingga bisa menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman, yaitu seperti yang tertera di dalam al-Naml [27]: 2. Petunjuk di sini berarti jalan yang lurus yang harus ditempuh dan perintah untuk meninggalkan selain jalan ini (al-Sa’di: 2000).

*   Mahasantri Pesma Al-Qalam, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unsil Tasikmalaya

Seminar Kenalkan Buku Ajar PAI Berbasis Empiris

Yayasan Islam Ibnu Siena Tasikmalaya mengenalkan buku pendidikan berbasis empiris kepada para guru pendidikan agama Islami (PAI) Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.

Pengenalan buku tersebut dilakukan melalui Seminar Buku Ajar PAI di Kampus Ibu Siena Jalan Siliwangi Nomer 41 Kota Tasikmalaya pada Rabu (15/2/2018). Kegiatan tersebut dibuka oleh Pimpinan Yayasan Ibnu Sina, H. lip Syamsul Arief

Ketua pelaksana kegiatan, Amin Sulton Alhaq mengatakan, kegiatan ini merupakan terobosan materi PAI dengan berbasis Riset Empiris.

“Buku ini ditujukan kepada guru tingkat SD/MI khususnya untuk tingkat murid kelas 4,5 dan 6. Dengan adanya buku yang disusun berdasarkan permendikbud Nomor 4 tahun 2016 ini, diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi kemajuan pendidikan,” ujarnya.

Dikatakan Amin, selama pembuatan buku PAI berbasis Riset Empiris ini, dirinya menegaskan telah melewati berbagai tahap uji coba hingga melibatkan pakar Bahasa Indonesia.

“Kalau para penulis buku lain, setelah mereka menyelesaikan penyusunan buku ajar, hampir semua buku tidak dilanjuti dengan uji coba, karena buku karya mereka adalah produk dari sebuah kajian literatur belaka,” katanya.

H. Itah Miftahul Ulum, S.Ag., M.Ag, Dosen Unswagati Cirebon, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung, sekaligus penulis buku mengutarakan, bukunya itu adalah produk dari penelitian tentang pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam berbasis nilai-nilai Tazkiyah al-Nafs (kesucian jiwa, kajian tasawuf dan psikologi).
“Buku ini memiliki keunikan di dalam penguraian materi, dengan tetap berpegang teguh kepada kurikulum 2013”, ujarnya.
Di antara keunikan buku ini, kata Itah yaitu memperkuat kesatuan dzikr dan fikr yang dikemas dalam ilustrasi, kisah, dan contoh yang relevan dengah fenomena di masyarakat.

Walaupun begitu, penulis tetap memperhatikan kemampuan para murid, sehingga bisa memudahkan mereka di dalam memahami pesan dari materi pembelajaran.

Di samping itu pula, membantu para guru dalam menyampaikannya, sehingga bisa menjawab tantangan yang ada di tengah masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan krisis akhlak. (Agus Berrie)***
---
Sumber: https://kabarpriangan.co.id/


Ikatan Guru Pen­di­dikan Agama Islam (PAI) Tasikmalaya meng­ikuti Seminar Buku Ajar PAI Berbasis Riset Empiris dengan Pendekatan Transdisiplin. Kegiatan itu dilaksanakan di Pesantren Ibnu Siena Rabu (14/2).

Ketua pelaksana se­mi­nar Amin Sulton Akhlaq mengatakan kegiat­an tersebut diikuti sekitar 120 peserta guru tingkat Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya. Ini merupakan kegiatan yang kedua diadakan. “Tujuan di­ada­kannya seminar ini untuk mengenalkan teori buku berbasis Riset Empiris yang akan disampaikan oleh H Itah Miftahul Ulum SAg, M Ag,” ungkapnya saat ditemui Radar di sela-sela acara Rabu (14/2).

Pemateri seminar H Itah Miftahul Ulum SAg, MAg menuturkan bu­ku­nya ditujukkan untuk guru tingkat SD, khu­susnya untuk kelas 1, 2, 4, 5. “Bukunya me­­ru­pa­­kan pengem­bang­an produk awal dari riset pengembanagan Kuri­kulum Pendidikan Agama Islam berbasis nilai-nilai kesucian jiwa,” papar Pimpinan Yayasan Al-Qolam Sukarindik ini.

H Itah menambahkan buku-bukunya disusun deng­an pendekatan trans­disiplin. Pendekatan trans­disiplin yaitu tasawuf, psikologi dan pendidikan agama islam. Pengembangan buku PAI dan budi pekerti untuk SD dan MI ini mengemas metode pembelajaran dalam bentuk ilustrasi, kisah dan contoh yang relevan dengan fenomena di masyarakat.

Adapun keunikan lain dalam buku tersebut, diantaranya aktivitas belajar dikonstruksikan melalui penguatan kesatuan dzikir dan fikr. “Kehadiran buku tersebut dapat membantu dalam kegiatan pengajaran,” ujarnya. (mg2).
---
Sumber: Radar Tasikmalaya

I.M. Ulum pembicara seminar sidang

Pesantren Ibnu Siena melaksanakan kegiatan seminar buku PAI Berbasis Riset Empiris Dengan Pendekatan Transdisiplin.

Kegiatan itu untuk mengenalkan teori buku berbasis Riset Empiris, Rabu (14/2) siang.

Ketua pelaksana, Amin Sulton Alhaq mengatakan, kegiatan ini merupakan terobosan materi PAI dengan berbasis Riset Empiris.

”Buku ini ditujukan kepada guru tingkat SD khususnya untuk tingkat murid kelas 4,5 dan 6. Dengan adanya buku berbasis Riset Empiris, diharapkan dapat menjadi suatu terobosan dalam pengajaran PAI,” ujarnya.

Acara ini digelar di Pesantren Ibnu Siena Jl. Siliwangi No. 41 Kelurahan Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Dihadiri 96 Guru SD tingkat Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.

Selama pembuatan buku PAI berbasis Riset Empiris ini turut melibatkan pakar Bahasa Indonesia.

”Semoga saja dengan kehadiran buku ini dapat membantu dalam kegiatan pengajaran. Saya berharap juga setiap sekolah minimal mempunyai 3 buku ini”, ujar H Itah Miftahul Ulum S Ag M Ag selaku Pimpinan Yayasan Al-Qolam Sukarindik. (rif).
---
Sumber: Radar Tasikmalaya

Pesma-Q

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVp3sL06B7Rk2jb6bcne8KHnucmKSVvHnQy9ZYQzpSosYU7su_tjB_pMavTyQDhDn0wP8geJAVwoVR9KpIk2jZRfkBiG4GwHwZEdUR3pWXIr2MDQKrWCWVXt2aXdlHnemj_PaFeMDQBXzo/s113/LOGO-PESMAQ-Fix.jpg} Pesantren Mahasiswa Al-Qalam (Pesma-Q) Kota Tasikmalaya {facebook#https://www.facebook.com/pesmaq/} {twitter#https://twitter.com/pesmaalqalam} {google#https://plus.google.com/u/0/105103565506257338129} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCHkEBwZRmlcjn4jgpJ0f5aw} {instagram#https://www.instagram.com/pesmaalqalam/}
Diberdayakan oleh Blogger.